Komik seperti yang kita lihat sekarang ini mulai memasuki sejarah
Indonesia mulai tahun 1930-an. Itupun masih berupa komik strip yang di
cetak pada sebuah surat kabar Melayu-Cina, Sinpo berjudul Si Put On,
saat itu Kho Wang Gie
menjadi penulis pertama dalam surat kabar yang terbit pada Sabtu, 2
Agustus 1930. Komik ini bertahan selama 30 tahun, istirahat sebentar
sewaktu Jepang berkuasa (tahun 1942 sampai 1946) muncul lagi di majalah
Pantjawarna dan Harian Warta Bhakti, namun akhirnya harus menyerah kalah
pada rezim Orde Baru saat Gestapu tahun 1965. Kho Wang Gie dengan
karyanya memberi banyak inspirasi bagi komikus Indonesia lainnya untuk
berkarya ditengah serbuan komik impor seperti Flash Gordon, Superman,
Tarzan. Para komikus seperti RA Kosasih dengan komik Sri Asih juga
Adisoma dengan komik Jakawarna. Tapi kembali komik mendapat cap sebagai
bacaan terlarang, dianggap tidak mendidik karena banyak aksi kekerasan
dan adegan buka-bukaan. Bahkan memasuki tahun 1955 dilakukan pembakaran
komik secara massal oleh pemerintah. Razia pun banyak dilakukan
ditaman-taman bacaan. Saat itu Komik dinilai tidak bagus karena terlalu
menganggap mengadaptasi budaya barat.
Pada tahun 1956-1963 mulai menjamur kembali komik-komik yang
menampilkan tokoh-tokoh dunia perwayangan. RA Kosasih kembali berjaya
dengan sejumlah cerita yang ia munculkan seperti Mahabarata dan
Ramayana. Pada saat yang muncul pula karya-karya lain selain dari Karya
RA Kosasih. beberapa diantaranya yakni Raden Palasara karya John Lo dan
Ulam Sari karya Ardisoma.
Memasuki tahun 1960-an komik Indonesia diwarnai dengan cerita-cerita
kehidupan Metropolitan, gegar budaya dan menganggap Jakarta sebagai
contoh mimpi kehidupan menyebabkan komik-komik pada jaman tersebut
banyak mengambil tema-tema percintaan remaja sehingga hal tersebut
menimbulkan adanya razia yang dilakukan Polisi pada tahun 1967.
Usai tema percintaan rupanya komik tidak habis nafas, kemudian muncul
komik superhero gelombang kedua yang diusung sejumlah komikus seperti
Ganes TH dengan Si Buta Dari Gua Hantu-nya, Hans Jaladara dengan Panji
Tengkorak-nya, dan Djai dengan Jaka Sembung-nya. Padahal dimasa itu
muncul juga serbuan komik-komik import seperti Superman dan Spiderman.
Komik Indonesia mengalami masa surut pada tahuan 1980-an. Saat itu
komik Indonesia boleh dikatakan kalah pamor dengan serbuan komik asing,
terutama komik manga dan produk-produk anime dari Jepang. Komik
Indonesia juga sulit diproduksi atau mungkin banyak penerbit lebih suka
menerbitkan komik impor. Hingga mulai sekitar tahun 1994 komik Indonesia
bangkit walau tampaknya masih terengah-engah, dimulai dengan komik
underground juga bermunculan situs-situs komik baik komik underground
maupun komunitas komik seperti Komikaze, newmedia, MKI, Bajing Loncat, Indicomic, Komik Online,
dan masih banyak komunitas komik lainnya. Hingga akhirnya berhasil
dengan sukses mengadakan Pameran Komik dan Animasi Nasional yang
dilakukan tahun 2000.
Komik Sebagai Media Pembelajaran
Komik merupakan media, media penyampaian ide, gagasan dan bahkan
kebebasan berpikir. Isi pesan dari komik itu lah yang menjadi kunci.
Selama komik belum lagi menemukan kunci sebagai media yang mengedukasi
sepertinya penran kucing-kucingan antara pembuat komik, pembaca dan
orang tua dan sekolah di sisi lain akan terus berlangsung.
Lain halnya bila kita melihat kondisi komik di negara Jepang misalnya, di negara yang warganya super sibuk tersebut maka komik dijadikan sebagai sebuah pilihan media penyampai pesan yang efektif. Komik di sana tidak hanya untuk kalangan anak-anak namun juga untuk remaja bahkan dewasa. Sehingga tak jarang ada batasan umur bagi pembaca komik. Imbas yang kita alami adalah, beredarnya komik Crayon Sinchan karya Yoshito Usui ini di Indonesia sebetulnya di negeri asalnya Jepang adalah bacaan dewasa. Karena ada film kartunnya (dan tokoh utamanya seorang bocah) lantas diimpor begitu saja dan diterbitkan ini sebagai bacaan anak. Setelah muncul pendapat miring muncul ke masyarakat, baru komik Sinchan diberi label oleh penerbitnya ”untuk 15 tahun ke atas”. Sehingga cap komik sebagai buku terlarang kembali lancur digelar. Namun ternyata di Jepang, komik sudah bukan benda yang asing digunakan sebagai media pembelajaran, bahkan beberapa buku sekolah di Jepang menggunakan media komik.
Sebenarnya komik dapat menjadi media pembelajaran yang sangat
efektif. Sebagai contoh untuk menjelaskan konsep-konsep yang sangat
abstrak dan memerlukan objek yang konkrit pada beberapa mata pelajaran.
Misalkan fisika, kimia atau matematika. Atau memberi penggambaran yang
konkrit pada masa lalu pada satu kejadian sejarah misalnya. Komik Fisika
ide dari Yohanes Surya dengan membawa komik ala manga dengan tokohnya,
Archi dan Meidy ini bercerita tentang dua orang anak kembar yang
menjalani kehidupan sebagai anak sekolah dasar. Segala kejadian dalam
kehidupan mereka di sekolah dan rumah, sesuai dengan konsep dari
ilmu-ilmu dasar fisika. Petualangan yang terjadi juga diselingi dengan
humor-humor segar. Orangtua Archi dan Mediy digambarkan sebagai seorang
pekerja. Ayahnya, Handi Susilo, seorang arsitektur. Sementara itu,
ibunya, Tamara Susilo, seorang disainer. Mereka mempunyai kakak
laki-laki yang bernama Anim. Sementara itu, Archi dan Meidy mempunyai
guru ahli fisika, Profesor Yosu. Tokoh Profesor Yosu ini mengambil
karakter dari Yohanes Surya sendiri. Yosu sendiri mempunyai saingan
bernama Profesor Adolf, yang juga seorang ahli fisika. Merupakan media
yang mengasyikkan sekaligus bisa mendidik anak untuk belajar Fisika.
Atau komik yang membawa cukilan sejarah tahun 1946 pasca kemerdekaan
RI, Rampokan Jawa karya Peter van Dongen dari Belanda ini juga sangat
menarik sebagai media pembelajaran sejarah. Dengan gaya penggambaran
fotografisnya dilukis dengan sedemikian detil dan indahnya. Sekilas
mengingatkan akan Komik Tintin yang populer di Indonesia.
Jadi mari kita melihat, bahwa media bukanlah pesan. Sedangkan isi
pesan dapat disesuaikan dengan kapasitas kemampuan tiap individu untuk
menerimanya. Komik merupakan media yang sangat diminati anak dengan
gambar dan cara bertuturnya yang lugas.
Admin
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI |
|
0 comments:
Post a Comment